Sudah cerdaskan bangsa Indonesia? Pertanyaan ini sederhana, tapi jawabannya bisa jadi tidak. Banyak sekali tokoh Teknologi Informasi (TI) yang memberi jawaban “ya” untuk pertanyaan di atas.
Pak Onno Purbo adalah salah satu tokoh TI yang dikenal banyak orang, dan banyak orang juga sudah mengetahui bahwa beliau akan memberi jawaban “ya” untuk pertanyaan di atas. Hal ini bisa dibaca di berbagai media massa
Supaya lebih fokus, kita bisa persempit pertanyaan ke “Cerdaskah Bangsa Indonesia dalam hal TI?” Kembali, jawaban banyak tokoh TI di Indonesia ini adalah ya.
Saya sendiri tidak sependepat dengan jawaban “Ya”. Saya berpendapat “Secara umum, tidak”. Ya, kita secara umum tidak cerdas dalam hal TI. Bahwa ada individu yang cerdas atau luar biasa cerdas, ya, saya akui. Tapi secara umum jawabannya adalah ‘Tidak’.
Mengapa demikian? Karena memang secara umum tidak. Karena memang selama ini penilaian kita rasanya agak sempit. Saya ingin mengajak kita memperluas tentang bagaimana masyarakat global (dengan segala segmen-segmen mereka) menilai kecerdasan suatu bangsa.
Pertama, penilaian masyarakat global tidak dibatasi kepada kemampuan praktis. Oke, kita bisa membuat RT/RW net, dan Pak Onno sudah mengajar ke India, Asia Selatan, dan entah negara apa lagi untuk membuat jaringan komputer. Mungkin saja mereka kalah pintar dalam hal itu, dan orang-orang di Indonesia ini lebih sukses dalam membuat jaringan demikian. Tapi, apakah TI hanya tentang jaringan komputer? Jadi, satu hal banyak orang (yang maaf kata ’sangat silau’ dengan kesuksesan RW/RT net) lupa bahwa TI tidak melulu tentang jaringan.
Kontribusi
Kedua, seberapa banyak kontribusi orang Indonesia dalam membuat opened source-code software dan free software? Linux, FreeBSD, Compiere, Mozilla, Opera, dan bejibun free software dibuat tanpa kehadiran personil dari Indonesia; kalaupun ada terlalu kecil persentasenya. Bagaimana mungkin kita layak membanggakan diri cerdas dalam hal TI, tidak kalah dari bangsa lain?
Ketiga, kecerdasan tidak terbatas ke kecerdasan kognitif. Kecerdasan juga mencakup kecerdasan emosional. Kalau kita lemah dalam hal manajemen, inisiatif bisnis, dan lain-lain, bukankah kita secara implisit mengakui bahwa kita belum cerdas? Ini masih terkait dengan TI, karena TI pun memerlukan manajemen, inisiatif bisnis, kesabaran, dan lain-lain.
Seth Godin dalam bukunya ’All Marketers Are Liars’, mengatakan bahwa fungsi marketers adalah menceritakan apa yang sebenarnya ingin didengar oleh konsumen. Apakah banyak pakar TI Indonesia selama ini berperan sebagai marketer dalam sense di atas? Saya sendiri rasanya tidak sering berperilaku sebagai marketer dalam sense di atas.
Saya tidak menihilkan peran dan perjuangan ‘Pakar-Pakar TI’ di sini untuk meningkatkan kemajuan bangsa. Tapi janganlah memberi persepsi yang sempit, dan terlebih-lebih menyesatkan. Semoga kita menjadi lebih cerdas dalam banyak aspek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar