Rabu, 24 Juni 2009
Indonesia, Sampai Kapan Jadi Konsumen?
Lupakan saja obsesi Indonesia untuk bisa sejajar dengan negara maju kalau sains dan teknologi masih jadi anak tiri. Betul, penetrasi teknologi kita cukup tinggi.
Pengguna ponsel terus membengkak dari tahun ke tahun. demikian juga aneka peranti mutakhir lain seperti ponsel, iPhone, PDA, laptop, MP3, home theater, mobil mewah, dan banyak lagi. Namun semua peranti canggih itu hanya kita beli, bukan kita ciptakan sendiri.
Mengapa kita belum mampu menciptakan sendiri suatu produk andal yang jadi kebanggaan? Sebab memang nyaris tak ada suatu proses riset dan pengembangan alias R&D yang ideal di negeri ini.
Salah satu penghambatnya adalah minimnya dana, budaya konsumtif yang tinggi, serta kurangnya daya dukung antar komunitas ilmuwan, pemerintah dan industri. Padahal mustahil suatu negara mampu mengejar ketertinggalannya dengan negara lain jika tidak memiliki kemandirian di bidang sains dan teknologi.
Anggaran
“Negara miskin dan berkembang membutuhkan dukungan besar sains dan teknologi jika mereka ingin bersaing dengan negara kaya,” demikian laporan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang dikemukakan dalam Konverensi Pengambangan dan Perdagangan (UN Conference on Trade and Development.) seperti yang dikutip AP belum lama ini.
Untuk bisa ke arah itu, negara-negara miskin dan berkembang mau tak mau harus menyisihkan anggaran untuk mempromosikan pengetahuannya. Para pendonor selayaknya meningkatkan jumlah bantuan untuk mengadakan proyek-proyek yang meningkatkan kemampuan negara dalam mengembangkan sector industri dan pertaniannya.
Dikatakan, selama ini program bantuan banyak difokuskan pada pemerangan korupsi daripada mempromosikan inovasi teknologi pada sejumlah negara. Sebut saja keberhasilan Korea Selatan yang mengubah nasib dari negara miskin pada tahun 1950 menjadi negara dengan teknologi maju di masa kini.
Selama tahun 2003 dan 2005. setidaknya 50 negara berkembang yang dikenal sebagai Least Development Countries (LDC), menganggarkan sekitar 827 juta dolar AS per tahun bagi pelatihan riset. Sebesar 12 juta dolar AS dialokasikan untuk memperluas kapasitas pertaniannya. Namun anggaran bagi sektor pemerintahan justru 1,3 triliun dolar AS.
“ Ada ketidakseimbangan antara isu pemerintahan dan sosial serta teknologi,” ujar , Supachai Panitchpakdi kepada pers. Target PBB sejauh ini adalah negara pendonor meningkatkan bantuan hingga 0.07 persen dari income gross negaranya hingga tahun 2015.
Komunikasi
Bagaimana Indonesia? Tak bisa dipungkiri kita sempat mengalami masa kejayaan teknologi di era lampau. Sebut saja suksesnya Indonesia mengorbitkan satelit Palapa tahun 1976. Lalu pada 10 Agustus 1995, kita sukses merilis pesawat pertama buatan anak negeri, N 250 dari PT. Dirgantara Indonesia. Namun sayangnya setelah itu belum ada produksi dalam negeri yang mampu melegakan hati. Sejak 1995 memang Indonesia dihadang krisis ekonomi berkepanjangan sampai saat ini disusul dengan aneka bencana alam. Sejak itu pula, anggaran negara untuk sektor sains dan teknologi kian menipis.
Dibanding dengan negara tetangga saja, kita tak ada apa-apanya. Saat ini anggaran penelitian kita hanya 0,04% dari PDB. Padahal Singapura, anggaran penelitiannya sekitar 2%, sedangkan Malaysia mendekati 2%. Sementara di negara-negara maju dana penelitian, tidak ada yang mencapai nilai dibawah 3%.
Sesungguhnya tak 100% kendalanya adalah biaya. Andai saja terjadi komunikasi yang ideal antara pemerintah, industri dan akademisi, maka masalah biaya bisa disisihkan. Berapa banyak hasil riset ilmuwan kita yang berakhir di lemari perpustakaan dan menguning tak terbaca? Berapa banyak ilmuwan muda kita yang menjadi juara di ajang kompetisi sains tingkat dunia? Semua membuktikan bahwa sesungguhnya sumber daya manusia Indonesia tidak kalah dengan negara lain. Sayangnya, potensi-potensi tersebut nyaris tidak dikembangkan dengan baik sehingga tak menghasilkan produk yang membanggakan.
Industri cenderung melirik produksi asing, mendatangkannya ke Indonesia, dan menjual ke publik. Pemerintah cenderung membuat kebijakan yang mempermudah impor daripada mendukung riset. Ilmuwan dan akademisi lebih suka berkutat di laboratorium tanpa peduli temuan apa yang dibutuhkan publik. Otomatis, publik kita juga lebih tergiur produk luar yang memang membanjiri lingkungan kita.
Sampai kapan lingkaran ini terus terbentuk? Apakah kita cukup puas dengan kondisi dimana kita hanya menjadi konsumen, bukan produsen? Sebuah pertanyaan yang selayaknya dijawab dengan perbuatan, bukan kata-kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar