Sabtu, 20 Juni 2009

Filosofi, Agama, dan Sistem Operasi Komputer

Dalam diskusi pro-kontra Open Source Software (OSS) versus proprietary, saya mempertanyakan mengapa wacana diskusi hanya pada tataran senang atau tidak senang terhadap produk tertentu, bukankah ada tujuan yang lebih utama dalam pemanfaatan teknologi informasi? Menanggapi pertanyaan saya, Budi Rahardjo dalam milis Technomedia menyatakan “Pemilihan produk atau teknologi yang dipilih itu ternyata tidak hanya terbatas di sisi teknis saja, akan tetapi sudah mengarah kepada filosofi. Ibaratnya pemilihan teknologi ini seperti pemilihan agama.”
Selanjutnya Budi menyatakan, semua agama tentu tujuannya baik, tetapi kita memiliki agama yang berbeda-beda. Tentu saja masing-masing merasa bahwa agama dia yang paling benar. Jadi, meskipun tujuannya sama akan tetapi tetap akan ada perdebatan mengenai perbedaan itu. Jadi perdebatan Linux vs Microsoft bukan sekedar masalah rejeki akan tetapi masalah filosofi (Open Source vs. Proprietary).
Filosofi
Mencermati pendapat Budi, saya melihat jika diskusi mengarah kepada aspek filosofi dan dianalogikan seperti agama, maka pada tataran filosofi, biasanya diskusinya fokus pada konsepsi, penalaranan, teoritis, metoda pemikiran, dan pengembangan keilmuan. Dari yang saya baca di milis, perdebatan berkutat pada tataran aplikasi, suatu yang kemudian terjebak pada isu-isu sempit. Budi sempat mengulas buku Cathedral and Bazaar (?). Saya belum sempat baca cover to cover, hanya sekilas saja. Rasanya buku-buku semacam inilah yang dapat menjadi titik tolak bagi pegiat OSS ketika hendak berwacana pada tataran filosofis. Mungkin para teknolog (mengutip istilah yang dikemukakan oleh rekan adi indrayanto) masih lebih suka baca “bit and byte”, yang terkesan heroik dan techiest. Sementara yang bukan teknolog lebih suka baca bukunya John Mingers and Leslie Willcocks eds (2004) “Social Theory and Philosophy for Information System” dan karya James W. Cortada (2002) “Making The Information Society”.
Jika dianalogikan seperti “agama”, ada wajah lain dari agama yang barangkali berbeda dengan pergerakan OSS dalam melawan hegemony proprietary. Di lingkungan agama dunia, golongan yang minoritas relatif stabil. Sedangkan golongan mayoritas sangat dipenuhi dengan dinamika bahkan pertentangan mengenai how to build a good society. Sementara itu di kancah sistem operasi komputer, kejadiannya terbalik. Golongan mayoritas tampil anggun, menjalankan strategi bisnis secara terencana, terukur dan terkendali, lobi-lobi politik dan bantuan ekonomi dilakukan di banyak negara, citra sebagai korporasi yang baik selalu diupayakan. Sebaliknya pegiat OSS yang minoritas berbisnis layaknya organisasi LSM, bukan seperti lazimnya pelaku bisnis profesional. Entrepreneurship memang menonjol dalam kiprah pegiat OSS, namun entrepreneurship saja tidaklah cukup dalam industri TI yang semakin kompetitif.
Perbedaan Dasar
Kemudian dalam agama samawiyah, yang muncul belakangan (Islam) ternyata mendapat respon dan dianut oleh mayoritas penduduk dunia. Sedangkan yang diwahyukan sebelumnya (Kristen dan Yehuda) dianut oleh relatif kecil dibandingkan yang diwahyukan sesudahnya (Islam). Mengapa hal ini terjadi, mungkin ahli sejarah agama lebih mahir untuk menjelaskan dari pada saya. Dalam konteks sistem operasi komputer, keadaannya terbalik. proprietary yang datang lebih dulu mampu bertahan dan malahan menjadi penguasa pasar
Sementara itu pada konteks agama berlaku ketentuan memaksakan agama lain pada orang yang sudah beragama itu tidak etis. Itu dianggap sebagai suatu hal yang sangat sensitif. Sebaliknya, jika di ranah komputer terjadi meng-OSS-kan orang yang sudah menggunakan propoetary, maka wajar saja.
Beberapa bulan lalu di Warta Ekonomi saya menulis kolom dengan judul “Be Legal”. Pada sarasehan guru telematika se-Indonesia di Semarang Agustus lalu, ada pertanyaa dari peserta tentang apakah harus pilih OSS atau proprieatry. Jawabannya adalah, ada dua level isu yang bisa digunakan sebagai acuan. Pertama berkaitan dengan dunia internasional, martabat bangsa, dan pemerintahan. Jawabannya adalah “Be Legal”.
Kedua, untuk menjadi legal Anda punya pilihan, mau yang berbayar atau yang free domain. Yang berbayar bisa yang murah (atau gratis, tidak diharuskan membayar) atau yang mahal. yang murah atau gratis bisa diperoleh jika Anda bisa didukung pemerintah dan asosiasi minta harga discount, atau minta donasi kepada produsen proprietary sebagai realisasi Corporate Social Responsibility (CSR). Yang mahal tidak usah dibahas. Mau yang free domain? Tinggal unduh saja Ubuntu, Debian, Redhat, Slackware, Suse, dan sebagainya dari Internet. Yang penting LEGAL.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar